BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Kamis, 07 Januari 2010

Nostalgia Pertamina dan Natuna



Natuna D Alpha merupakan lapangan migas yang sebelumnya dikelola ExxonMobil. Selama ini, Exxon menerapkan bagi hasil 100:0 sebelum pajak, sehingga pemerintah tidak mendapatkan apa pun.
(Istimewa)

Pengamat minyak Pri Agung Rakhmanto menyatakan mendukung penyerahan pengelolaan blok Natuna ke Pertamina. Pasalnya, hal ini dapat dijadikan pembuktian kemampuan sumberdaya dalam negeri dalam memproduksi minyak bumi nasional.

"Buat saya ini lebih bagus kalau dipegang Pertamina dibandingkan diberikan ke Exxon. Berilah kesempatan bagi anak bangsa untuk membuktikan kemampuannya," ujar Pri kepada INILAH.COM di Jakarta, Jumat (8/2).

Kendati merasa optimistis terhadap keputusan pemerintah, Pri masih mengkhawatirkan kinerja Pertamina dalam memproduksi migas di Pekanbaru tersebut. Pasalnya, Pertamina pernah dipengaruhi dan dimanfaatkan bagi kepentingan para pejabat negara, sehingga hasil migas tanah air tidak pernah optimal.

"Kemungkinan gagal pasti ada. Dulu kan Pertamina masih dijadikan 'sapi perah' bagi elit-elit yan berkuasa, dan kita tidak bisa berharap banyak dari situ. Jadi mulai sekarang Pertamina harus membenahi kinerjanya," lanjutnya.

Untuk itu, Pri mengharapkan penyerahan Natuna ke Pertamina kali ini dijadikan permulaan yang baru. Ada kontrak yang jelas, terutama tentang pengaturan bagi hasil yang diterima pemerintah.

"Mestinya kalau itu betul-betul diserahkan ke Pertamina, sejak sekarang ya harus berubah. Natuna harus dijadikan modal awal untuk mencapai perubahan itu. Kita masih belum tau bagaimana bagi hasil yang diberikan ke Pertamina itu. Karenanya, term kontraknya itu harus jelas. Poin saya di itu," jar Pri.

Natuna D Alpha merupakan lapangan migas yang sebelumnya dikelola ExxonMobil. Selama ini, Exxon menerapkan bagi hasil 100:0 sebelum pajak, sehingga pemerintah tidak mendapatkan apa pun. Namun, selama 21 tahun sebagai operator, Exxon dinilai belum melakukan pengembangan yang signifikan sehingga kontraknya dicabut.

Adapun Blok Natuna D Alpha diperkirakan memiliki cadangan gas cukup besar yakni hingga 46 triliun kaki kubik. Namun, 70% cadangan gas tersebut mengandung CO2.

Lebih lanjut Pri menanggapi positif niat pemerintah menerapkan aturan baru dalam cost recovery demi meminimalisir beban negara. Yaitu pemisahan biaya pengembangan lapangan migas yang belum berproduksi di satu blok dengan lapangan yang sudah berproduksi di blok yang sama.

"Seharusnya ini diterapkan dari dulu. Jadi cost recovery hanya berlaku pada yang berproduksi saja," tambahnya.

Adanya revisi itu menurut Pri menunjukkan bahwa sistem cost recovery dalam negeri selama ini belum efisien, sehingga ada yang harus dibenahi.

Sebelumnya Wakil Presiden Jusuf Kalla memutuskan untuk menyerahkan pengelolaan Blok Natuna D Alpha ke Pertamina terkait buntunya negosiasi dengan Exxon. Adapun negosiasi yang telah berjalan setahun ini ditekankan pada revisi porsi bagi hasil.

"Kita harus jelas, maka langkah yang diambil harus menguntungkan Indonesia," ujar wapres usai meninjau lapangan duri milik Chevron Pacific Indonesia di Pekanbaru, Riau, Kamis (7/2).

Dirut Pertamina Ari H Soemarno mengakui pihaknya sudah diberitahu secara informal meskipun belum ada pemberitahuan formal atau tertulis. Namun ia belum tahu berapa persen Pertamina mendapat kepemilikan di blok tersebut.

Pertamina pun sedang mengkaji berbagai pilihan untuk pendanaan pengelolaan blok Natuna D Alpha mulai dari project financing sampai obligasi. "Kita lihat nanti, model apa yang baik, project financing, obligasi," kata Dirut Pertamina Ari Soemarno usai sholat Jumat di kantor pusat Pertamina, Jakarta, Jumat (8/2).

Namun Ari pun menegaskan, bahwa untuk mengelola Blok Natuna tidak mungkin sendiri. Dengan tingkat kesulitan mengembangkan gas dari Natuna, dibutuhkan teknologi tinggi untuk memisahkan kandungan CO2 yang tinggi dan terletak di laut.

Apalagi investasi yang harus dikeluarkan untuk mengembangkan blok itu sekarang sudah mencapai sekitar US$ 52 miliar. Membengkak dari estimasi sebelumnya yang sekitar US$ 25 miliar.

Karenanya, Ari menegaskan Pertamina akan menggandeng beberapa perusahaan minyak yang sudah berpengalaman. "Pertamina harus cari partner, jelas sendiri nggak bisa. Harus cari partner yang punya modal dan teknologi yang jelas," katanya

Ari menyebut sejumlah mitra yang bisa diajak bekerja sama antara lain ExxonMobil, StatOil, Shell, Eni, dan PetroChina pada pengembangan hulu serta PTT Thailand, Petronas, dan PetroVietnam dalam penjualan.

Pertamina seharusnya merasa bersyukur, sebagai satu-satunya BUMN yang menguasai sumber minyak di negara sebesar Indonesia, Pertamina mendapat berbagai prioritas dan banyak peluang dari segala eksekusi di bidang energi. Namun, tantangan dan hambatan juga tidak kalah besar, terkait kepentingan petinggi negara yang rakus materi.

0 komentar: